Suasana lantai dua di Red Cafe sore itu tidak terlalu ramai, hanya sedikit pengunjung yang memilih untuk duduk menghabiskan sisa sorenya ditemani secangkir kopi hangat. Hujan yang turun sejak siang hari membuat jalanan basah dan dingin. Dari jendela kaca besarnya yang menghadap ke jalanan tampak kendaraan merayap perlahan menembus hujan yang mulai reda. Sesekali tampak para pejalan kaki dengan payung dan raincoat warna warni berjalan di trotoar seberang jalan.
Dilla duduk di sebuah meja kecil tepat di depan jendela itu. Di depannya secangkir kopi panas yang dihidangkan pelayan tadi sudah dingin, sama sekali belum disentuhnya. Wajahnya menunduk menekuni kata demi kata di diktat tebal yang dibacanya, dan merapalkannya kembali. Sesekali dia menghela nafas.
Waktu menunjukan pukul 4.30 sore. Dilla melirik jam tangan perak yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dan kembali menghela nafas berat. Jalanan di bawah jendela sudah mulai ramai, hujan sudah reda dan sinar matahari sore menembus jendela kaca besar itu. Dilla menutup diktat tebal di depannya dan mengalihkan pandangan ke luar jendela, jauh menembus keramaian kendaraan dan para pejalan kaki di sana.
Ingatannya melayang pada bayang-bayang peristiwa menyedihkan yang melanda hidupnya seminggu terakhir. Kematian Wisnu, kakaknya sekaligus pelindungnya sejak kedua orangtua mereka bercerai, membuat Dilla terpukul. Dilla tahu hidup Wisnu keras. Sebagai ketua salah satu geng motor paling kuat di Bandung, Dilla paham bahwa segala hal tentang Wisnu adalah bahaya, namun tidak sedikit pun terbayang dalam benaknya semua akan berakhir seperti ini.
“La, kalau nanti gue pergi, lo tinggal sama Mama ya,” kata Wisnu sore itu ketika mereka sedang menonton Sport News favoritnya.
“Emangnya lo mau kemana Kak?”
“Gue ngerasa kalau gue bakal pergi jauh ninggalin lo, La. Gue gag tau kenapa, tapi firasat gue bilang lo bakal kesepian.”
Dilla mengerutkan keningnya, “Lo ngomong apa sih Kak?” Pandangannya langsung beralih dari layar televisi menatap Wisnu lekat-lekat. Firasatnya agak tidak enak.
“Hahaha... becanda kali La... Wajah lo lucu banget, hahahaha...” tawa Wisnu. “Gag mungkin lah gue rela jauh-jauh dari lo. Siapa coba yang bakal bikinin makanan kalau gue lapar?”
“Ye... Gag lucu tau gag Kak! Gue pikir lo serius Kak. Lo bikin gue takut tau gag?!”
“Hahahaha... sumpah La, lo lucu banget,” tawa Wisnu yang masih belum berhenti membuat Dilla kesal. Wajahnya merengut dengan bibir manyun. Seketika dia menyambar bantal sofa disebelahnya dan melemparnya ke arah Wisnu.
“Gag lucu tahu gag Kak!” serunya.
“Hadeh, jangan ngambek dong sayang. Jelek lo, benar-benar keliatan kayak pembantu lo, hahahaha....”
Dilla tambah memanyunkan bibirnya yang membuat Wisnu tertawa makin keras.
“Ketawain aja terus,” sindirnya sinis.
“Segitu aja ngambek neng,” kata Wisnu sambil mengacak-acak ramput adik kesayangannya itu. “Ucapan gue tadi gag usah dipikirin.”
“Apa sih lo Kak,” kata Dilla sambil merapikan rambutnya. “Gue takut tau gag? Gue gag tau gimana hidup gue selanjutnya kalau lo ninggalin gue, Kak.” Tidak terasa setetes air mata jatuh dari sudut matanya.
“Aduh... Kok lo jadi cengeng gini sih,” kata Wisnu sambil mengahapus air mata Dilla. “Gue kan udah janji akan selalu ada di samping elo, selalu ada buat elo.”
“Jangan ngomong kayak tadi lagi ya Kak. Gue takut.”
“Iya sayang. Gue janji akan selalu jagain lo,” kata Wisnu sambil tersenyum. Senyum khas Wisnu, favorit Dilla. Senyum tulus terakhir tanpa rasa sakit dan kecemasan yang bisa diingatnya.
Sore itu seperti biasa, Wisnu menjemput Dilla di sekolah. Hujan yang turun siang tadi membuat jalanan basah dan sepi. Langit yang masih mendung dan dingin membuat Wisnu mempercepat laju motornya agar segera sampai di rumah.
Tiba-tiba Wisnu berhenti. “Kenapa Kak?” tanya Dilla sambil melihat ke depan. Mereka dihadang segerombolan pemuda yang bertampang sangar. Dilla bergidik ketika mereka berjalan mendekat. Geng motor.
Wisnu tampak tegang. Dia turun dari motor dan menghadang mereka. “Lo telepon polisi, La. Gag usah takut, gue pasti menang,” janjinya menenangkan adik kesayangannya itu.
“Tapi...”
“Lo percaya sama gue kan La?” tanya Wisnu sambil menggenggam tangan Dilla.
Dilla mengangguk. “Ya Kak, gue percaya.”
Perkelahian pun terjadi. Wisnu berusaha melawan sekuat tenaga, namun lawannya terlalu banyak. Mereka mengeroyok Wisnu tanpa ampun. Dilla hanya bisa melihat dengan ngeri sambil menjerit tertahan. Air matanya mengalir bersama hujan yang kembali turun.
“Dilla... Lari!” perintah Wisnu. Heru, sang ketua geng sekaligus rival terbesarnya berjalan mendekati Dilla. Dilla tidak merespon sama sekali. Kengerian tergambar di wajahnya yang pucat.
“Hahahahha...” tawa Heru. Kini dia berdiri di samping Dilla, mencengkram kuat bahu gadis itu sambil menatap ntalurus ke depan, menantang Wisnu. “Cuma sampai di sini kekuatan Ketua Mars yang sok jago itu?” ejeknya diiringi tawa anak buahnya.
“Lepasin adik gue!”
“Hahahha... Lo emang bisa ngalahin gue di arena Wis, tapi gag di sini,” kata Heru sambil tersenyum mengejek. “Dan sekarang adik lo yang cantik ini akan jadi saksi kehancuran lo,Wisnu. Dia akan melihat bagaimana lo berlutut meminta ampun ke gue.”
“Kalo lo emang gentle hadapin gue di arena, gag kayak gini caranya Her. Pengecut!”
“Aku aja Wisnu, lo KALAH!”
“Kurang ajar lo...!!” Wisnu melayang pukulan ke wajah Heru. Cowok itu terjejal ke belakang.
“Shit!” Heru menghapus darah yang menetes dari sudut bibirnya. Heru bangkit dan mengeluarkan pisau lipat dari saku jaketnya, langsung menusukkannya ke perut Wisnu. Wisnu yang kaget, tidak sempat menghindar.
“Tidaaaaaaaaaak...” teriak Dilla ketakutan. Dia mendorong tubuh Heru dan langsung memeluk Wisnu yang sudah bersimbah darah.
Heru pucat. Dia tersadar dengan apa yang telah dilakukannya. Dengan segera ia bangkit dan berlari ke arah motornya. “Cabut!” perintahnya. Anak buahnya yang dari tadi cuma ternganga melihat semua yang terjadi langsung menuju motor masing-masing dan melaju menyusul bos mereka.
Gerimis turun semakin lebat.
Dilla hanya menangis sambil memanggil-manggil nama Wisnu. Ketika Ambulans dan polisi datang pun Dilla hanya menangis, tidak sadar dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Dalam pikirannya, ketakutan ditinggalkan Wisnu sangat menghantuinya.
“La... Dilla...!” panggil seseorang.
Dilla tersentak dari lamunannya. Dia mengangkat wajahnya dan tersenyum saat melihat siapa yang memanggilnya. “Lo ngagetin aja Ta. Udah lama?” tanya Dilla pada orang itu, Resta, sahabatnya dari kecil.
“Udah, lo nya aja yang gag nyadar. Udah gue panggil-panggil dari tadi gag nyahut juga,” omel Resta. Beginilah kalau bawelnya kumat.
“Iya, iyaa... maaf deh,” jawab Dilla.
“Ngelamun lagi kan? Aduh La, sampai kaan lo kayak gini? Udah hampir 2 minggu lho.”
“Gag semudah itu menghapus memori buruk ini dari ingatan gue, Ta. Gag gampang buat nerima kalau sekarang gue cuma sendiri.”
“Ngomong apa sih lo? Jangan mulai lagi deh. Lo gag nganggap gue ada?”
“Maaf...”
“Udahlah, gue gag mau bahas hal ini lagi. Bokap nyokap lo masih di rumah?”
“Udah balik. Bokap baru balik kemarin pagi, kalau nyokap sih cuma 3 hari di sini.”
“Mereka gag ngajak lo?”
“Bokap maksa sih, nyuruh gue ikut dia ke L.A. Gue gag mau. Bentar lagi udah UN, nanggung kan?”
“Lo gila..?! Tahu bentar lagi UN, masih aja bolos dan gag pernah masuk. Lo pikir Wisnu senang liat lo kayak gini?”
Dilla hanya diam mendengar kata-kata Resta. Raut wajahnya berubah suram. Resta yang sadar langsung mengalihkan pembicaraan.
“Eh, ini pesanan lo tadi, catatan selama lo gag masuk sekolah. Udah gue copy. Lo ganti ya duitnya, heheh”
“Iya, ntar gue ganti. Pelit amat sih lo sama gue.”
“Hahahaha... becanda kali neng. Besok masuk ya, Bu Dian udah sering nanyai lo, sampai gue bosan jawabnya.”
“InsyaAllah besok gue masuk kok. Bosan gue di rumah mulu. Oiya, lo sendiri?”
“Iya, kenapa emang?”
“Tumben gag sama cowok tersayang. Udah putus ya???”
“Enak aja. Kalau gue putus, emang lo mau nyariin gue cowok baru? Emang lo mau dengerin curhatan gue tentang semua fans-fans gue?”
“Idiiiih... PD gila lo. Siapa sih yang gag punya otak, ngefans sama lo?”
“Yeee... banyak tau. Lo nya aja yang gag nyadar. Ansos sih lo.”
“Enak aja.....”
Resta yang tahu Dilla hanya mengalihkan pembicaraan mengikuti alur yag diciptakan gadis itu. Sore itu Resta kaget saat Dilla meneleponnya sambil menangis. Sambil terisak Dilla hanya menyebut nama Wisnu berulang kali. Resta langsung menuju rumah sakit dan menemukan Dilla duduk memeluk kedua lututnya di sudut ruang tunggu UGD, menangis sambil menundukkan kepala. Resta hanya bisa memeluk Dilla meskipun dia tahu hal itu tidak akan meredakan kesedihannya.
Ya, Resta tahu Wisnu segalanya bagi Dilla. Wisnu adalah sosok kakak sekaligus pengganti orang tua baginya, menggantikan sosok mama dan papa mereka yang tinggal di luar negeri sejak memutuskan untuk bercerai. Wisnu, sosok yang membuat Dilla bertahan, penopang kehidupannya kini telah pergi.
Dokter yang keluar dari UGD memberitahu mereka bahwa Wisnu telah sadar dan ingin bertemu Dilla. Dilla bergegas masuk ditemani Resta. Tampak di sana Wisnu terbaring lemah dengan banyak selang di tubuhnya. Dia berusaha tersenyum saat melihat Dilla masuk.
“Lihat kan La, gue baik-baik aja,” katanya. “Heru tuh bukan tandingan gue.” Wisnu tertawa lemah.
“Lo gila Kak? Kayak gini lo bilang baik-baik aja? Lo gag tau gimana takutnya gue dan sekarang lo masih bisa ketawa?” tanya Dilla kesal. Nada suaranya terdengar sangat khawatir.
“La, lo gag boleh bebanin kakak lo,” ingat Resta.
“Biarin aja Ta, biar dia ngeluarin seluruh ketakutannya selagi gue masih bisa dengerin dia,” kata Wisnu. “Lo kan tau gimana juteknya dia. Liat aja, mana ada cowok yang mau sama nih anak.”
“Lo masih bisa aja ledekin gue,” sungut Dilla.
“Hahahaha...” tawa Wisnu, namun segera berhenti saat lukanya kembali terasa sakit.
“Kak...”
“Mama sama papa mana La?”
“Masih di pesawat mungkin. Papa gue telepon katanya masih di bandara, mama katanya juga masih ngurus kepulangannya.”
“Lo ingat gag obrolan kita waktu itu? Waktu gue nyuruh lo bertahan dan tinggal sama mama atau papa.”
“Kak, kita udah sepakat gag akan bahas masalah itu lagi. Kenapa justru lo ngungkit disaat begini? Lo udah janji akan selalu jagain gue dan lo harus tepati itu.”
“Maafin gue kalau gue gag bisa tepati janji gue sendiri La. Gue sayang banget sama lo, dan maaf kalau gue ngecewain lo.”
“Udah gue bilang kita jangan pernah bahas ini lagi, Kak.”
Wisnu hanya tersenyum sambil menahan rasa sakitnya. “Mungkin waktu gue gag banyak La. Gue pengen lo baik-baik aja, jangan pernah bikin gue khawatir. Lo gag boleh ngelekuin yang macam-macam. Ingat, lo harus tetap bertahan,” pesan Wisnu.
“Kak...”
“Resta...” sambung Wisnu. “Lo tolong gue jagain Dilla ya. Bilang sama dia jangan galak-galak sama cowok, ntar gag dapat pacar. Hahahah.”
Dilla kembali terisak, tak sanggup menahan air matanya. Resta hanya bisa memeluk bahu Dilla, mencoba menenagkan.
“Jangan nangis dong sayang. Gue gag bisa tenang kalau lo kayak gini,” kata Wisnu lagi. “Lo harus janji lo akan baik-baik aja tanpa gue.”
“Iya Kak, gue janji,” kata Dilla sambil terisak.
Wisnu tersenyum. “Selamat tinggal sayang. Meskipun nanti gue udah gag ada di samping lo, gue akan tetap menjaga lo dari sana.” Wisnu tersenyum sambil menatap adik kesayangannya itu. Perlahan dia menutup mata, menutup mata untuk selama-lamanya.
“Kak... Kak... Bangun Kak,” kata Dilla sambil mengguncang-guncang tubuh Wisnu yang tidak bereaksi apa pun. “Kakaaaaaaak...”
Resta segera berlari keluar untuk memanggil dokter, namun sayang nyawa Wisnu tidak dapat diselamatkan. Sore itu Wisnu kembali ke sisi Tuhan. Dilla hanya bisa menangis. Air matanya tidak pernah berhenti mengalir bahkan sampai pemakaman Wisnu selesai.
Dua minggu telah berlalu sejak kematian Wisnu. Setelah mengobrol lama, Dilla dan Resta memutuskan untuk berpisah. Sambil mengantar Dilla ke motornya, Resta terus mewanti-wanti agar Dilla berhati-hati, jangan terus-terusan bersedih dan langsung meneleponnya jika terjadi apa-apa.
“Iya... bawel lo ah,” jawab Dilla kesal, namun tetap tersenyum karena perhatian Resta padanya.
“Ya uda, hati-hati bawa motornya. Besok lo harus sekolah. Gue gag bisa ngasih alasan lagi sama Bu Dian,” tambah Resta lagi. “Janji ya, besok lo masuk.”
“Ih, lo beneran bawel ya!”
“Udah deh, gag usah ngebantah lagi,” jawab Resta sewot. “Eh, tu Rama udah jemput gue. Ingat pesan gue, hati-hati dan jangan ngebut,” sambungnya.
“Iya... udah ah, pangeran lo udah nungguin tuh,” ledek Dilla sambil memasang helm nya. “Gue balik ya Ta. Rama, gue balik dulu ya,” teriaknya pada Rama, pacar Resta yang berdiri di depan mobilnya. Rama hanya tersenyum dan berjalan mendekati Resta.
“Hati-hati,” pesannya sebelum Dilla melaju.
“Kak,” gumam Dilla. “Gue udah berusaha kuat, tapi gue gag bisa. Di depan Resta atau Rama mungkin gue bisa senyum, tapi hati gue hancur Kak. Gue cuma butuh elo, cuma lo Kak.”
Air matanya kembali menetes di pipinya. Senja mulai turun. Gerimis yang makin lebat menyertai turunnya senja. Lampu-lampu jalan mulai menyala. Semua tampak menyilaukan di mata Dilla yang penuh air mata.
Tiba-tiba dari arah berlawanan datang sebuah mobil Avanza yang melaju dengan kecepatan tinggi. Dilla kaget ketika mobil itu membunyikan klason panjang yang membuyarkan lamunannya. Namun sayang, Dilla gagal menghindar. Mobil itu menabraknya. Dilla terpental jauh dari motornya.
Kepalanya tiba-tiba terasa sangat sakit seperti mau pecah. Namun, antara sadar atau tidak, yang diingatnya hanya Wisnu. Terbayang olehnya wajah Wisnu yang dua minggu ini sudah tak lagi pernah dilihatnya dan senyum Wisnu. Ya, dalam bayangannya Wisnu sedang tersenyum dan mengulurkan tangan padanya.
“Kak, maafin gue gag bisa nepatin janji gue ke lo,” gumamnya. “Kak, gue kangen lo.” Dan seketika semua menjadi gelap.
gw jd inget cerpen lo pas sma deh cha...(ini bukan?)
ReplyDeletehujan kan ceritanya...akhirnya tiiit...
hahaha... emang ini kok.
ReplyDeleteGw post dg beberapa perubahan, tp endingnya sama kok :))
how do you think??
Yg waktu itu lo baca??
ya iyalah...gw tu penbaca setia cerpen yang lo bikin...lo kan pamer!!!
ReplyDeletehehe...
hahahhaaha :DD
ReplyDeletelo pake id yang mana sih ok, yang di atas apa yang di bawah???