untuk #dn36ukmitb yang tak terlupakan
Sunday, April 24, 2011
euforia itu masih ada (untuk #dn36ukmitb yang tak terlupakan)
Setiap buka facebook selalu ada notification dari grup pengurus, apalagi di home nya, semuanya penuh dengan status dan foto-foto euforia #dn36ukmitb itu. Itu hanya di facebook, belum lagi di twitter. Padahal 2 hari telah berlalu, tapi kehangatannya masih terasa. Masih ada perasaan senang karena rangkaian acara #dn36ukmitb telah selesai, masih ada keharuan dan tetesan air mata saat mengenang latihan dan proses selama 3 bulan terakhir ini telah selesai dengan hasil yang dapat dikatakan menggembirakan. Entah kenapa semuanya jadi melankolis seperti ini. Terima kasih uda-uda uni-uni 2008 atas bimbingannya selama proses itu. Terima kasih uda-uda uni-uni 2009. 2010 sayang uda-uda dan uni-uni
Tuesday, April 19, 2011
hate is ...
aku benci senyum kemenangannya
aku benci ekspresi merendahkan yang sering dilayangkannya padaku
dia selalu bertanya padaku, padahal dia sudah tahu jawabannya
dan aku benci cara dia memberitahu seolah-olah dia yang paling tahu segalanya
aku benci ekspresi merendahkan yang sering dilayangkannya padaku
dia selalu bertanya padaku, padahal dia sudah tahu jawabannya
dan aku benci cara dia memberitahu seolah-olah dia yang paling tahu segalanya
Tuesday, April 12, 2011
HUJAN
Suasana lantai dua di Red Cafe sore itu tidak terlalu ramai, hanya sedikit pengunjung yang memilih untuk duduk menghabiskan sisa sorenya ditemani secangkir kopi hangat. Hujan yang turun sejak siang hari membuat jalanan basah dan dingin. Dari jendela kaca besarnya yang menghadap ke jalanan tampak kendaraan merayap perlahan menembus hujan yang mulai reda. Sesekali tampak para pejalan kaki dengan payung dan raincoat warna warni berjalan di trotoar seberang jalan.
Dilla duduk di sebuah meja kecil tepat di depan jendela itu. Di depannya secangkir kopi panas yang dihidangkan pelayan tadi sudah dingin, sama sekali belum disentuhnya. Wajahnya menunduk menekuni kata demi kata di diktat tebal yang dibacanya, dan merapalkannya kembali. Sesekali dia menghela nafas.
Waktu menunjukan pukul 4.30 sore. Dilla melirik jam tangan perak yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dan kembali menghela nafas berat. Jalanan di bawah jendela sudah mulai ramai, hujan sudah reda dan sinar matahari sore menembus jendela kaca besar itu. Dilla menutup diktat tebal di depannya dan mengalihkan pandangan ke luar jendela, jauh menembus keramaian kendaraan dan para pejalan kaki di sana.
Ingatannya melayang pada bayang-bayang peristiwa menyedihkan yang melanda hidupnya seminggu terakhir. Kematian Wisnu, kakaknya sekaligus pelindungnya sejak kedua orangtua mereka bercerai, membuat Dilla terpukul. Dilla tahu hidup Wisnu keras. Sebagai ketua salah satu geng motor paling kuat di Bandung, Dilla paham bahwa segala hal tentang Wisnu adalah bahaya, namun tidak sedikit pun terbayang dalam benaknya semua akan berakhir seperti ini.
“La, kalau nanti gue pergi, lo tinggal sama Mama ya,” kata Wisnu sore itu ketika mereka sedang menonton Sport News favoritnya.
“Emangnya lo mau kemana Kak?”
“Gue ngerasa kalau gue bakal pergi jauh ninggalin lo, La. Gue gag tau kenapa, tapi firasat gue bilang lo bakal kesepian.”
Dilla mengerutkan keningnya, “Lo ngomong apa sih Kak?” Pandangannya langsung beralih dari layar televisi menatap Wisnu lekat-lekat. Firasatnya agak tidak enak.
“Hahaha... becanda kali La... Wajah lo lucu banget, hahahaha...” tawa Wisnu. “Gag mungkin lah gue rela jauh-jauh dari lo. Siapa coba yang bakal bikinin makanan kalau gue lapar?”
“Ye... Gag lucu tau gag Kak! Gue pikir lo serius Kak. Lo bikin gue takut tau gag?!”
“Hahahaha... sumpah La, lo lucu banget,” tawa Wisnu yang masih belum berhenti membuat Dilla kesal. Wajahnya merengut dengan bibir manyun. Seketika dia menyambar bantal sofa disebelahnya dan melemparnya ke arah Wisnu.
“Gag lucu tahu gag Kak!” serunya.
“Hadeh, jangan ngambek dong sayang. Jelek lo, benar-benar keliatan kayak pembantu lo, hahahaha....”
Dilla tambah memanyunkan bibirnya yang membuat Wisnu tertawa makin keras.
“Ketawain aja terus,” sindirnya sinis.
“Segitu aja ngambek neng,” kata Wisnu sambil mengacak-acak ramput adik kesayangannya itu. “Ucapan gue tadi gag usah dipikirin.”
“Apa sih lo Kak,” kata Dilla sambil merapikan rambutnya. “Gue takut tau gag? Gue gag tau gimana hidup gue selanjutnya kalau lo ninggalin gue, Kak.” Tidak terasa setetes air mata jatuh dari sudut matanya.
“Aduh... Kok lo jadi cengeng gini sih,” kata Wisnu sambil mengahapus air mata Dilla. “Gue kan udah janji akan selalu ada di samping elo, selalu ada buat elo.”
“Jangan ngomong kayak tadi lagi ya Kak. Gue takut.”
“Iya sayang. Gue janji akan selalu jagain lo,” kata Wisnu sambil tersenyum. Senyum khas Wisnu, favorit Dilla. Senyum tulus terakhir tanpa rasa sakit dan kecemasan yang bisa diingatnya.
Sore itu seperti biasa, Wisnu menjemput Dilla di sekolah. Hujan yang turun siang tadi membuat jalanan basah dan sepi. Langit yang masih mendung dan dingin membuat Wisnu mempercepat laju motornya agar segera sampai di rumah.
Tiba-tiba Wisnu berhenti. “Kenapa Kak?” tanya Dilla sambil melihat ke depan. Mereka dihadang segerombolan pemuda yang bertampang sangar. Dilla bergidik ketika mereka berjalan mendekat. Geng motor.
Wisnu tampak tegang. Dia turun dari motor dan menghadang mereka. “Lo telepon polisi, La. Gag usah takut, gue pasti menang,” janjinya menenangkan adik kesayangannya itu.
“Tapi...”
“Lo percaya sama gue kan La?” tanya Wisnu sambil menggenggam tangan Dilla.
Dilla mengangguk. “Ya Kak, gue percaya.”
Perkelahian pun terjadi. Wisnu berusaha melawan sekuat tenaga, namun lawannya terlalu banyak. Mereka mengeroyok Wisnu tanpa ampun. Dilla hanya bisa melihat dengan ngeri sambil menjerit tertahan. Air matanya mengalir bersama hujan yang kembali turun.
“Dilla... Lari!” perintah Wisnu. Heru, sang ketua geng sekaligus rival terbesarnya berjalan mendekati Dilla. Dilla tidak merespon sama sekali. Kengerian tergambar di wajahnya yang pucat.
“Hahahahha...” tawa Heru. Kini dia berdiri di samping Dilla, mencengkram kuat bahu gadis itu sambil menatap ntalurus ke depan, menantang Wisnu. “Cuma sampai di sini kekuatan Ketua Mars yang sok jago itu?” ejeknya diiringi tawa anak buahnya.
“Lepasin adik gue!”
“Hahahha... Lo emang bisa ngalahin gue di arena Wis, tapi gag di sini,” kata Heru sambil tersenyum mengejek. “Dan sekarang adik lo yang cantik ini akan jadi saksi kehancuran lo,Wisnu. Dia akan melihat bagaimana lo berlutut meminta ampun ke gue.”
“Kalo lo emang gentle hadapin gue di arena, gag kayak gini caranya Her. Pengecut!”
“Aku aja Wisnu, lo KALAH!”
“Kurang ajar lo...!!” Wisnu melayang pukulan ke wajah Heru. Cowok itu terjejal ke belakang.
“Shit!” Heru menghapus darah yang menetes dari sudut bibirnya. Heru bangkit dan mengeluarkan pisau lipat dari saku jaketnya, langsung menusukkannya ke perut Wisnu. Wisnu yang kaget, tidak sempat menghindar.
“Tidaaaaaaaaaak...” teriak Dilla ketakutan. Dia mendorong tubuh Heru dan langsung memeluk Wisnu yang sudah bersimbah darah.
Heru pucat. Dia tersadar dengan apa yang telah dilakukannya. Dengan segera ia bangkit dan berlari ke arah motornya. “Cabut!” perintahnya. Anak buahnya yang dari tadi cuma ternganga melihat semua yang terjadi langsung menuju motor masing-masing dan melaju menyusul bos mereka.
Gerimis turun semakin lebat.
Dilla hanya menangis sambil memanggil-manggil nama Wisnu. Ketika Ambulans dan polisi datang pun Dilla hanya menangis, tidak sadar dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Dalam pikirannya, ketakutan ditinggalkan Wisnu sangat menghantuinya.
“La... Dilla...!” panggil seseorang.
Dilla tersentak dari lamunannya. Dia mengangkat wajahnya dan tersenyum saat melihat siapa yang memanggilnya. “Lo ngagetin aja Ta. Udah lama?” tanya Dilla pada orang itu, Resta, sahabatnya dari kecil.
“Udah, lo nya aja yang gag nyadar. Udah gue panggil-panggil dari tadi gag nyahut juga,” omel Resta. Beginilah kalau bawelnya kumat.
“Iya, iyaa... maaf deh,” jawab Dilla.
“Ngelamun lagi kan? Aduh La, sampai kaan lo kayak gini? Udah hampir 2 minggu lho.”
“Gag semudah itu menghapus memori buruk ini dari ingatan gue, Ta. Gag gampang buat nerima kalau sekarang gue cuma sendiri.”
“Ngomong apa sih lo? Jangan mulai lagi deh. Lo gag nganggap gue ada?”
“Maaf...”
“Udahlah, gue gag mau bahas hal ini lagi. Bokap nyokap lo masih di rumah?”
“Udah balik. Bokap baru balik kemarin pagi, kalau nyokap sih cuma 3 hari di sini.”
“Mereka gag ngajak lo?”
“Bokap maksa sih, nyuruh gue ikut dia ke L.A. Gue gag mau. Bentar lagi udah UN, nanggung kan?”
“Lo gila..?! Tahu bentar lagi UN, masih aja bolos dan gag pernah masuk. Lo pikir Wisnu senang liat lo kayak gini?”
Dilla hanya diam mendengar kata-kata Resta. Raut wajahnya berubah suram. Resta yang sadar langsung mengalihkan pembicaraan.
“Eh, ini pesanan lo tadi, catatan selama lo gag masuk sekolah. Udah gue copy. Lo ganti ya duitnya, heheh”
“Iya, ntar gue ganti. Pelit amat sih lo sama gue.”
“Hahahaha... becanda kali neng. Besok masuk ya, Bu Dian udah sering nanyai lo, sampai gue bosan jawabnya.”
“InsyaAllah besok gue masuk kok. Bosan gue di rumah mulu. Oiya, lo sendiri?”
“Iya, kenapa emang?”
“Tumben gag sama cowok tersayang. Udah putus ya???”
“Enak aja. Kalau gue putus, emang lo mau nyariin gue cowok baru? Emang lo mau dengerin curhatan gue tentang semua fans-fans gue?”
“Idiiiih... PD gila lo. Siapa sih yang gag punya otak, ngefans sama lo?”
“Yeee... banyak tau. Lo nya aja yang gag nyadar. Ansos sih lo.”
“Enak aja.....”
Resta yang tahu Dilla hanya mengalihkan pembicaraan mengikuti alur yag diciptakan gadis itu. Sore itu Resta kaget saat Dilla meneleponnya sambil menangis. Sambil terisak Dilla hanya menyebut nama Wisnu berulang kali. Resta langsung menuju rumah sakit dan menemukan Dilla duduk memeluk kedua lututnya di sudut ruang tunggu UGD, menangis sambil menundukkan kepala. Resta hanya bisa memeluk Dilla meskipun dia tahu hal itu tidak akan meredakan kesedihannya.
Ya, Resta tahu Wisnu segalanya bagi Dilla. Wisnu adalah sosok kakak sekaligus pengganti orang tua baginya, menggantikan sosok mama dan papa mereka yang tinggal di luar negeri sejak memutuskan untuk bercerai. Wisnu, sosok yang membuat Dilla bertahan, penopang kehidupannya kini telah pergi.
Dokter yang keluar dari UGD memberitahu mereka bahwa Wisnu telah sadar dan ingin bertemu Dilla. Dilla bergegas masuk ditemani Resta. Tampak di sana Wisnu terbaring lemah dengan banyak selang di tubuhnya. Dia berusaha tersenyum saat melihat Dilla masuk.
“Lihat kan La, gue baik-baik aja,” katanya. “Heru tuh bukan tandingan gue.” Wisnu tertawa lemah.
“Lo gila Kak? Kayak gini lo bilang baik-baik aja? Lo gag tau gimana takutnya gue dan sekarang lo masih bisa ketawa?” tanya Dilla kesal. Nada suaranya terdengar sangat khawatir.
“La, lo gag boleh bebanin kakak lo,” ingat Resta.
“Biarin aja Ta, biar dia ngeluarin seluruh ketakutannya selagi gue masih bisa dengerin dia,” kata Wisnu. “Lo kan tau gimana juteknya dia. Liat aja, mana ada cowok yang mau sama nih anak.”
“Lo masih bisa aja ledekin gue,” sungut Dilla.
“Hahahaha...” tawa Wisnu, namun segera berhenti saat lukanya kembali terasa sakit.
“Kak...”
“Mama sama papa mana La?”
“Masih di pesawat mungkin. Papa gue telepon katanya masih di bandara, mama katanya juga masih ngurus kepulangannya.”
“Lo ingat gag obrolan kita waktu itu? Waktu gue nyuruh lo bertahan dan tinggal sama mama atau papa.”
“Kak, kita udah sepakat gag akan bahas masalah itu lagi. Kenapa justru lo ngungkit disaat begini? Lo udah janji akan selalu jagain gue dan lo harus tepati itu.”
“Maafin gue kalau gue gag bisa tepati janji gue sendiri La. Gue sayang banget sama lo, dan maaf kalau gue ngecewain lo.”
“Udah gue bilang kita jangan pernah bahas ini lagi, Kak.”
Wisnu hanya tersenyum sambil menahan rasa sakitnya. “Mungkin waktu gue gag banyak La. Gue pengen lo baik-baik aja, jangan pernah bikin gue khawatir. Lo gag boleh ngelekuin yang macam-macam. Ingat, lo harus tetap bertahan,” pesan Wisnu.
“Kak...”
“Resta...” sambung Wisnu. “Lo tolong gue jagain Dilla ya. Bilang sama dia jangan galak-galak sama cowok, ntar gag dapat pacar. Hahahah.”
Dilla kembali terisak, tak sanggup menahan air matanya. Resta hanya bisa memeluk bahu Dilla, mencoba menenagkan.
“Jangan nangis dong sayang. Gue gag bisa tenang kalau lo kayak gini,” kata Wisnu lagi. “Lo harus janji lo akan baik-baik aja tanpa gue.”
“Iya Kak, gue janji,” kata Dilla sambil terisak.
Wisnu tersenyum. “Selamat tinggal sayang. Meskipun nanti gue udah gag ada di samping lo, gue akan tetap menjaga lo dari sana.” Wisnu tersenyum sambil menatap adik kesayangannya itu. Perlahan dia menutup mata, menutup mata untuk selama-lamanya.
“Kak... Kak... Bangun Kak,” kata Dilla sambil mengguncang-guncang tubuh Wisnu yang tidak bereaksi apa pun. “Kakaaaaaaak...”
Resta segera berlari keluar untuk memanggil dokter, namun sayang nyawa Wisnu tidak dapat diselamatkan. Sore itu Wisnu kembali ke sisi Tuhan. Dilla hanya bisa menangis. Air matanya tidak pernah berhenti mengalir bahkan sampai pemakaman Wisnu selesai.
Dua minggu telah berlalu sejak kematian Wisnu. Setelah mengobrol lama, Dilla dan Resta memutuskan untuk berpisah. Sambil mengantar Dilla ke motornya, Resta terus mewanti-wanti agar Dilla berhati-hati, jangan terus-terusan bersedih dan langsung meneleponnya jika terjadi apa-apa.
“Iya... bawel lo ah,” jawab Dilla kesal, namun tetap tersenyum karena perhatian Resta padanya.
“Ya uda, hati-hati bawa motornya. Besok lo harus sekolah. Gue gag bisa ngasih alasan lagi sama Bu Dian,” tambah Resta lagi. “Janji ya, besok lo masuk.”
“Ih, lo beneran bawel ya!”
“Udah deh, gag usah ngebantah lagi,” jawab Resta sewot. “Eh, tu Rama udah jemput gue. Ingat pesan gue, hati-hati dan jangan ngebut,” sambungnya.
“Iya... udah ah, pangeran lo udah nungguin tuh,” ledek Dilla sambil memasang helm nya. “Gue balik ya Ta. Rama, gue balik dulu ya,” teriaknya pada Rama, pacar Resta yang berdiri di depan mobilnya. Rama hanya tersenyum dan berjalan mendekati Resta.
“Hati-hati,” pesannya sebelum Dilla melaju.
“Kak,” gumam Dilla. “Gue udah berusaha kuat, tapi gue gag bisa. Di depan Resta atau Rama mungkin gue bisa senyum, tapi hati gue hancur Kak. Gue cuma butuh elo, cuma lo Kak.”
Air matanya kembali menetes di pipinya. Senja mulai turun. Gerimis yang makin lebat menyertai turunnya senja. Lampu-lampu jalan mulai menyala. Semua tampak menyilaukan di mata Dilla yang penuh air mata.
Tiba-tiba dari arah berlawanan datang sebuah mobil Avanza yang melaju dengan kecepatan tinggi. Dilla kaget ketika mobil itu membunyikan klason panjang yang membuyarkan lamunannya. Namun sayang, Dilla gagal menghindar. Mobil itu menabraknya. Dilla terpental jauh dari motornya.
Kepalanya tiba-tiba terasa sangat sakit seperti mau pecah. Namun, antara sadar atau tidak, yang diingatnya hanya Wisnu. Terbayang olehnya wajah Wisnu yang dua minggu ini sudah tak lagi pernah dilihatnya dan senyum Wisnu. Ya, dalam bayangannya Wisnu sedang tersenyum dan mengulurkan tangan padanya.
“Kak, maafin gue gag bisa nepatin janji gue ke lo,” gumamnya. “Kak, gue kangen lo.” Dan seketika semua menjadi gelap.
Tuesday, March 29, 2011
iseng
Yes,...akhirnya nge post lagi :D
Hahaha... SLR boleh minjam dari bobon pas gue sama desti ngacak-ngacak kosan dia :p
Kali ini gue ngasal banget, gag punya bahan yang mau dipost, tapi ngebet banget pengen ngepost, hahahha...
gue ngepost background laptop gue aja yah... :))
Hahaha... SLR boleh minjam dari bobon pas gue sama desti ngacak-ngacak kosan dia :p
Sunday, March 13, 2011
Cerita di angkot sore ini
Sore tadi gue sama teman kosan gue, Dini baru balik dari Pasar Baru. Seperti biasa kita balik naik angkot ungu kebanggaan anak kosan daerah Cisitu, Cisitu - Tegalega. Lumayan rame sih, tapi gag sampe penuh banget.
Nah, pas di dekat Annex, tepatnya di depan Balubur naik 2 orang bocah pengamen yang masih kecil banget. Palingan baru 6tahun lah tu dua bocah. Kayaknya sih mereka mau numpang tu angkot buat pulang habis ngamen seharian libur ini. Yang satu pake baju putih kucel duduk di pintu angkot, yang satu lagi yang pake baju garis-garis duduk di bangku cadangan dekat pintu.
Sepanjang jalan mereka ngobrol sambil nyanyi. Yang pake bau putih mainin gitar mininya, yang pake baju garis-garis nyanyiin lagu punk rock jalanan. Gue kaget waktu denger tu bocah nyanyi. Suaranya men, bagus banget.
Si Dini bilang tu bocah punya bakat, jadinya gue perhatiin dah tu bocah dua. Ngemeng-ngemeng ternyata tu bocah yang nyanyi punya tampang juga alias cakep buat anak seumuran dia. hehehhe...
Sayang banget bakat kayak gitu gag diasah. Gue harap tu bocah masih sekolah dan bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Gue harap semoga ntar dia sukses, gag cuma gede di jalanan sebagai pengamen. Gue yakin suatu saat nanti tu bocah bakal berhasil... :))
Nah, pas di dekat Annex, tepatnya di depan Balubur naik 2 orang bocah pengamen yang masih kecil banget. Palingan baru 6tahun lah tu dua bocah. Kayaknya sih mereka mau numpang tu angkot buat pulang habis ngamen seharian libur ini. Yang satu pake baju putih kucel duduk di pintu angkot, yang satu lagi yang pake baju garis-garis duduk di bangku cadangan dekat pintu.
Sepanjang jalan mereka ngobrol sambil nyanyi. Yang pake bau putih mainin gitar mininya, yang pake baju garis-garis nyanyiin lagu punk rock jalanan. Gue kaget waktu denger tu bocah nyanyi. Suaranya men, bagus banget.
Si Dini bilang tu bocah punya bakat, jadinya gue perhatiin dah tu bocah dua. Ngemeng-ngemeng ternyata tu bocah yang nyanyi punya tampang juga alias cakep buat anak seumuran dia. hehehhe...
Sayang banget bakat kayak gitu gag diasah. Gue harap tu bocah masih sekolah dan bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Gue harap semoga ntar dia sukses, gag cuma gede di jalanan sebagai pengamen. Gue yakin suatu saat nanti tu bocah bakal berhasil... :))
Sunday, March 6, 2011
Ada Apa dengan Cinta?
Kembali menemukan sebuah harta karun ketika membongkar file-file lama di laptop.
Puisi Rangga dan Cinta di film Ada Apa dengan Cinta :DD
Sinopsisnya gw ambil dari om Wiki,
Film favorit gue sepanjang waktu sampai sampai gue gag ngafalin puisi mereka, hehehe :))
Puisi Rangga dan Cinta di film Ada Apa dengan Cinta :DD
Sinopsisnya gw ambil dari om Wiki,
Bertemakan cinta di masa-masa SMA, Ada Apa dengan Cinta menampilkan Cinta (Dian Sastrowardoyo) sebagai seorang pelajar SMA. Ia langganan juara lomba puisi di sekolahnya yang rutin diadakan tiap tahun. Cerita berawal dari Alya (Ladya Cherill) yang tubuhnya memar karena kerap dipukuli sang ayah yang kerap cek-cok dengan ibunya. Alya adalah sahabat karib Cinta dengan teman-temannya yang lain. Seperti Carmen (Adinia Wirasti), Maura (Titi Kamal), dan Milly (Sissy Priscillia).
Di sekolah, juara lomba puisi tahun ini akan diumumkan. Seluruh siswa yakin Cinta yang akan menjadi juara. Namun justru pemenangnya tahun ini adalah Rangga (Nicholas Saputra). Karena Cinta dan teman-temannya adalah pengurus mading sekolah, ia akan mewawancarai Rangga. Namun Rangga adalah tipe laki-laki pendiam, penyendiri dan "dingin". Saat Cinta berbicara dengan Rangga, ia melihat buku yang dipegang Rangga (buku AKU karya Syumandjaya). Lalu Cinta memberinya surat dan membuat Rangga emosi. Dan tanpa disengaja bukunya terjatuh. Cinta segera memungutnya. Dan membawa pulang buku itu untuk dibaca.
Cinta mengembalikan buku tersebut saat Rangga kebingungan mencarinya. Rangga pun berterima kasih pada Cinta. Semenjak itu mereka menjadi dekat. Rangga mengajak Cinta ke Kwitang, tempat ia membeli buku lama. Saat di Kwitang, Cinta teringat akan janji menonton konser bersama teman-temannya. Ia pun meninggalkan Rangga untuk menonton konser.
Pada suatu malam Rangga dan Cinta kencan di sebuah kafe. Namun sebelum Cinta berangkat, Alya menelepon untuk memintanya ke rumah. Namun Cinta berbohong bahwa ia akan pergi ke rumah sakit. Akhirnya Cinta pergi bersama Rangga. Di sana Cinta menyanyikan lagu yang dibuat dari puisi Rangga. Saat Cinta pulang, mama Cinta akan pergi menjenguk Alya di rumah sakit karena mencoba bunuh diri. Cinta menjadi sangat menyesal.
Keesokan harinya, Rangga menyapa Cinta. Namun Cinta justru berkata ketus agar Rangga tidak mendekatinya lagi. Rangga pun sepakat bahwa ia akan menjauh dari Cinta. Saat di rumah sakit Cinta berterus-terang pada Alya bahwa ia berbohong dan Alya pun tahu bahwa Cinta kencan dengan Rangga. Cinta tidak tahu bahwa saat ia berkata jujur, teman-temannya yang lain ada dibelakangnya. Cinta juga meminta maaf kepada teman-temennya yang lain.
Rangga yang saat itu akan berencana pindah sekolah ke Amerika Serikat, mencoba menelepon Cinta untuk berpamitan. Namun Cinta justru tetap menjauh dari Rangga. Carmen yang saat itu sedang latihan basket melihat Rangga berpamitan pada Pak Wardiman, sang penjaga sekolah. Ia pun segera memberitahukan teman-temannya.
Cinta yang menyadari cinta sejatinya itu, segera menyusul ke bandara. Namun mobil Milly terjepit mobil lain. Mereka meminjam mobil Mamet (Dennis Adhiswara). Di sana Cinta bertemu dengan Rangga. Ia meminta Rangga untuk membatalkan niatnya sekolah di luar negeri. Namun Rangga tetap pergi meninggalkan Cinta-nya. Ia memberi Cinta buku yang pada halaman terakhirnya terdapat puisi Rangga yang berjudul "Ada Apa dengan Cinta?". Rangga berjanji akan kembali di saat bulan purnama tiba.
Udah berapa lama ya gue gag nonton film ini? Pengen nonton lagi, pengeeeen banget bei dvd nya, tapi udah nyari kemana mana gag nemu juga --"Film favorit gue sepanjang waktu sampai sampai gue gag ngafalin puisi mereka, hehehe :))
Puisi Cinta
Satu nafas terhembus adalah kata
Angan debur dan emosi bercampur
Dalam jubah terpautan
Tangan kita terikat
Bibir kita menyatu
Maka setiap apa yang terucap
Adalah sabda pandita ratu
Diluar itu pasir
Diluar itu debu
Hanya pasir meniup saja lalu hilang
Terbang tak ada
Tapi kita tetap menari
Tarian cuma kita yang tahu
Jiwa ini adalah tandu
Duduk saja... maka akan kita bawa semua
Karena kita adalah satu
Puisi Rangga
Kulari Kehutan kemudian teriakku
Kulari Kepantai kemudian menyanyiku
Sepi, sepi.... dan sendiri aku benci
Aku mau bingar, aku mau di pasar
Bosan aku dengan penat
Dan enyah saja kau pekat
Seperti berjelaga jika ku sendiri
Pecahkan saja gelasnya biar ramai
Biar mengaduh sampai gaduh
Aih, ada malaikat menyulam
Jaring laba laba belang di tembok
Keraton putih
Kenapa tak goyangkan saja
Loncengnya
Biar terdera
Atau aku harus lari ke hutan
Belok ke pantai
Saturday, March 5, 2011
Jenuh
Hidup...
Sering banget aku merasa bosan dengan segala rutinitas yang harus kulalui setiap harinya. Kuliah, tugas yang banyak dan sering menumpuk, latihan, dan bahkan untuk tidur yang waktunya terbatas pun aku jenuh.
Aku jenuh dengan kehidupan ini, aku ingin lepas dari semua ini. Dulu ketika SMA, impian terbesar adalah melepaskan masa-masa itu dan melanjutkan ke universitas, tapi kenapa sekarang masa-masa itu terasa lebih ringan?
Waktu demi waktu berjalan begitu cepat. Ketika aku bangun di suatu pagi, tidak terasa hari sudah kembali malam dan pagi berikutnya pun datang ketika aku membuka mata. Namun waktu yang ditinggalkannya itu terasa sudah sangat lama walaupun ternyata baru seminggu. Aku jenuh, aku ingin lepas dari semua ini, tapi ini lah hidupku. Inilah hidupku, hidup yang aku pilih dengan banyak usaha dan pengorbanan. Ini impianku dan kenapa aku justru jenuh dengan ini??
Aku ingat wajah mama ketika melepasku pergi, wajah yang selalu tersenyum meski aku tahu berat untuk melakukannya. Aku putri kecilnya yang dulu, putri kecil kebanggaannya dan kebanggaan kakak-kakakku. Dan pertanyaan terbesar adalah, apakah aku tega mengecewakan mereka dengan tetap seperti ini?
Inilah hidupku, hidup yang aku pilih dan harus kuperjuangkan. Ketika ingat senyum mereka, aku selalu berusaha kuat dan mencoba berdiri karena ku yakin aku bisa. Berusaha menikmati apapun yang aku pilih dan semua yang ada di depan mata, karena sejujurnya betapa pun aku jenuh, semuanya harus dilalui. Hal yang paling ampuh adalah tetap berusaha tersenyum dan menghapus semua pikiran yang memberatkan.
This is my life, and I live for it
Subscribe to:
Posts (Atom)